Manusia
memang diciptakan dalam keadaan paling baik dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Hal ini tertera dalam al-Quran surat at-Tiin ayat 4 yang berbunyi:
لَقَدْ خَلقْنَا الْإِنسَنَ فِى أَحْسَنِ تَقْوِيْم
"Sesungguhnya
kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"
Namun dalam
ayat selanjutnya diterangkan bahwa Allah menciptakan mereka dengan berbagai
kelemahannya. Diterangkan dalam salah satu ayat Quran yang berbunyi:
وَخُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
“….dan manusia dijadikan bersifat lemah” (Q.S. An-nisa;
28)
Dengan dua
ayat yang bertentangan ini seolah-olah Allah salah menciptakan manusia. Namun
tidak sama sekali. Makna lemahnya manusia disini yaitu dalam pelaksanaan syari'at.
Sesungguhnya Allah telah memudahkan pilihan antara perintah dan larangan, seperti
makanan yang haram dimakan itu hanya empat (Al-Maidah: 4), dan ketika terjadi
kesulitan (dhoruriyyat) diperbolehkan untuk dilakukan seperti memakan bangkai
bagi orang yang kelaparan. Mungkin tidak pernah terbayangkan bilamana Allah
menuliskan makanan apa saja yang halal dalam Quran. Mungkin seluruh Quran akan
berisi menu makanan. Hal ini merupakan kasih sayang dan Ihsan-Nya kepada manusia,
pengetahuan-Nya tentang lemahnya dirimu; lemah fisik, lemah 'azam, lemah iman
dan lemahnya kesabaran. Oleh karenanya, Dia meringankan sesuatu yang tidak
sanggup dipikul oleh kamu. Dengan pengharaman 4 makanan saja banyak yang
melanggar, apalagi bila ditulis lebih banyak? Disinilah letak kelemahan
manusia.
Berbeda
dengan ayat pertama disebut, bahwasanya di antara makhluk Allah di atas
permukaan bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk;
bentuk lahir dan bentuk batin. Bentuk tubuh dan bentuk nyawa. Bentuk tubuhnya
melebihi keindahan bentuk tubuh hewan yang lain. Tentang ukuran dirinya,
tentang manis air-mukanya, sehingga dinamai basyar, artinya wajah yang
mengandung gembira, sangat berbeda dengan binatang yang lain. Dan manusia
diberi pula akal, bukan semata-mata nafasnya yang turun naik. Maka dengan
perseimbangan sebaik-baik tubuh dan pedoman pada akalnya itu dapatlah dia hidup
di permukaan bumi ini menjadi pengatur. Kemudian itu Tuhan pun mengutus pula
Rasul-rasul membawakan petunjuk bagaimana caranya menjalani hidup ini supaya
selamat.
Dengan
kelebihan yang dianugerahkan lebih banyak daripada kelemahan, tentulah upaya
manusia untuk menebusnya harus dibayar dengan sangat mahal. Namun Allah tidak
menominalkan harga terhadap itu semua. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang
siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri
sesuatu yang banyak.”
(HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Allah tidak
menginginkan harta kita sedikitpun sebagai konsekuensi pemberian-Nya yang maha
sempurna ini, hanya dengan akhlaq bersyukur, itu sudah cukup sebagai kompensasi
kita kepada sang Khaliq. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa menerapkan
akhlaq yang terpuji (baca: akhlaqul karimah) sebagai upaya berterima kasih?
Kata
“AKHLAK” berasal dari bahasa Arab “KHULQUN” yang berarti Suatu keadaan jiwa
yang dapat melakukan tingkah laku tanpa membutuhkan banyak akal dan pikiran dan
dikhususkan untuk sifat dan karakter yang tidak dapat dilihat oleh mata.
Sedangkan Al-Qurthubi berkata, Akhlak adalah sifat manusia dalam bergaul dengan
sesamanya, ada yang terpuji dan ada yang tercela.
Akhlak menempati kedudukan yang
luhur dalam Islam, bahkan di antara misi utama agama ini adalah menyempurnakan
akhlak yang mulia, sebagaimana sabda Nabi SAW :
اَكْمَلُ اْلمُؤْ مِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خَلْقًا
Artinya : “ Mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”
Dari penjelasan hadits di atas
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai keimanan paling sempurna
adalah apabila orang tersebut memiliki akhlak yang baik, karena dari akhlak
yang baik akan menimbulkan hati yang bersih untuk beribadah dan menambah
keimanan seseorang kepada Tuhannya. Bahkan akhlak yang baik menjadi penyebab
terbanyak masuknya seorang hamba ke dalam surga, karena dengan begitu seorang
hamba akan selalu melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam
haditsnya beliau bersabda:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال : لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم
فَاحِشاً وَلاَ مُتَفَحِّشاً وَكَانَ يَقُوْلُ : إِنَّ مِنْ خِيَارُكُمْ أَحْسَنُكُمْ
أًخْلاَقاً رواه البخاري.
Dari
Abdullah bin Amru berkata: Nabi tidak pernah berbuat keji sendiri tidak pula
berbuat keji kepada orang lain. Beliau bersabda: “Sesungguhnya termasuk
sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR Bukhari).
Lalu muncul
pertanyaan selanjutnya, lalu siapa panutan kita sesungguhnya? Allah pun
menjawab dalam salah satu ayatnya yang berbunyi:
لَقَدَ كانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada
diri Rasulullah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga
diterangkan dalam hadits-hadits :
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ
خُلُقًا
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok yang paling mulia akhlaknya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6203 & Muslim no. 2150)
Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma berkata menyifati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Beliau tak
pernah berbuat kejelekan & tak pernah mengucapkan ucapan yang jelek.” Lalu
Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6035 & Muslim no. 2321)
Makna
Secara Umum:
Dalam hadits
tersebut terdapat dalil akan baiknya akhlaq Nabi . Beliau adalah bukan seorang
yang berbicara maupun berbuat kotor. “Fakhsy” adalah setiap sesuatu yang keluar
dari kadarnya hingga dianggap buruk termasuk dalam perkataan, perbuatan dan
sifat. Sedang “Fakhisy” orang yang berkata keji dan “Mutafakhisy” orang yang
menggunakan kekejian supaya orang ketawa.
Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang berkata dan
berbuat keji”
Tuntunan-Tuntunan:
1.
Keagungan syariat Islam dimana menyeru kaum muslimin
untuk memiliki sifat-sifat yang utama misalnya; menghilangkan gangguan,
menyambut orang dengan senyuman serta mencurahkan kebaikan.
2.
Wajib berpegang teguh dengan akhlak utama dan
meninggalkan akhlak yang buruk.
a.
Berakhlaq baik mendekatkan kepada kedudukan Nabi pada hari kiamat
b.
Menghormati kaum muslimin dan mempergauli mereka
dengan akhlak baik
c.
Barangsiapa memiliki akhlaq baik memperoleh kecintaan
Allah Ta’ala
d.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya
Sumber:
1.
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
3.
ihwansalafy.wordpress.com
4.
www.masbied.com/.../dalil-hadis-berkaitan-akhlak
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Terimakasih sudah berkunjung.