Dalam perjalanan hidup di dunia, segala bentuk perubahan yang terjadi
adalah sesuatu yang niscaya. Keniscayaan inilah yang menyadarkan manusia akan
arti penting kehidupan dengan segala prosesnya. Namun hal ini tidak menafikan
adanya perbedaan yang terjadi diantara mereka dalam menyikapinya.
Bagi mereka yang menyikapinya dengan positif, arti penting dari kehidupan
ini akan terwujud pada progresifitas (baca: kemajuan) diri dan lingkungan yang
mengitarinya. Dan akan terjadi hal yang sebaliknya jika mereka menyikapi arti
penting hidup ini dengan negatif.
Sebagai contoh, bagi sebagian masyarakat yang hidup di pedalaman hutan Irian Jaya ataupun Arizona, sampai sekarang mereka tidak mengalami progresifitas diri dan lingkungan yang mengitarinya. Terbukti dari tata cara mereka berpakaian, makan, dan bertempat tinggal masih sangat mengenaskan. Hal ini karena mereka tidak mempunyai sikap positif terhadap arti pentingnya kehidupan.
Sebagai contoh, bagi sebagian masyarakat yang hidup di pedalaman hutan Irian Jaya ataupun Arizona, sampai sekarang mereka tidak mengalami progresifitas diri dan lingkungan yang mengitarinya. Terbukti dari tata cara mereka berpakaian, makan, dan bertempat tinggal masih sangat mengenaskan. Hal ini karena mereka tidak mempunyai sikap positif terhadap arti pentingnya kehidupan.
Sebenarnya standard progresifitas itu sendiri bersifat nisbi (baca:
relatif), hal ini dikarenakan adanya penilaian dengan menggunakan sudut pandang
yang bertumpu pada dua bentang ruang waktu yang berbeda, yakni waktu sebelum
dan sesudah. Dalam arti, kehidupan pada tahun 80an bisa dikatakan lebih
progresif bagi sebagian masyarakat metropolis dibanding dengan kehidupan pada
era 70an. Dan jika dilihat pada era 90an, maka kehidupan pada era 80 dinilai
tidak begitu progresif, begitu juga seterusnya.
Dari sini, Progresifitas adalah produk dari interaksi manusia dengan
bentang ruang dan waktu, dan progresifitas itu sendiri menemukan relevansinya
pada abad 18 seiring munculnya aliran filsafat enlightenment (Falsafatut
Tanwiir) yang mampu menggerakkan revolusi di perancis(1). Setelah melewati abad
20, progresifitas dengan segala dampaknya terhadap masa depan hidup manusia
dalam merealisasikan kemajuan materiil berkat revolusi teknologi telekomunikasi
dan informasi, telah berubah menjadi sebuah ideologi yang menyisakan dilemma
dalam bangunan progresifitas itu sendiri. Bagaimana tidak menyisakan dilemma, standard
progresifitas yang bersifat nisbi akan berdampak pada kenisbian nilai-nilai
yang ditimbulkan oleh progresifitas tersebut, dan tidak serta-merta nilai-nilai
itu selamanya bersifat positif atau negatif.
Lalu untuk mengatasi dilemma tersebut diperlukan pendekatan
normatif-doktriner Agama (baca: Islam). Kemudian Agama (baca: Islam) kembali
menemukan urgensinya dalam kehidupan manusia di muka bumi, betapa Agama
mempunyai peran dalam menyikapi nilai-nilai yang ditimbulkan oleh progresifitas
tersebut.
Namun perlu diketahui juga bahwa agama tidak mampu berdiri sendiri tanpa
ada sosok yang bisa mengaktualisasikannya. Nah, di sinilah kemudian sosok ulama
dan santri sangatlah mempunyai peran tersebut. Keberhasilan sosok ulama dan
santri dalam mengaktualisasikan Agamanya akan dapat menyeleksi nilai-nilai
progresifitas mana yang sekiranya bisa diambil atau ditinggalkan. Sehingga
tidak menutup kemungkinan akan terwujudnya akulturasi nilai-nilai normatif dan
nilai-nilai progresifitas tersebut.
Progresifitas dalam bidang keilmuan dan kedokteran -misalnya-, seiring
ditemukannya unsur genetika yang sering dikenal dengan DNA, mempunyai
nilai-nilai yang bisa berakulturasi dengan nilai-nilai normatif Agama, ini
menjadi sangat afirmatif dengan bukti bahwa DNA bisa dijadikan sebagai alat
bukti otentik dalam menetapkan kasus kejahatan dan kriminal.
Definisi
Moderen
Dalam ensiklopedi wikipedia dituliskan bahwa: "Modern is something
that is up-to-date, new, or from the present time. The term was invented in the
early 16th century to describe recent trends. The Early Modern Times lasted
from the end of the 15th century to the end of the 18th century, circa 1450 to
1750. Modern Times are the period from Enlightenment and the 18th century until
today". (Modern adalah segala sesuatu yang baru atau terkini. Istilah
modern telah ditemukan pada awal abad 16 untuk menggambarkan tren terkini pada
masa itu. Masa awal moderen berlangsung pada akhir abad 15 sampai akhir abad
18, yakni berkisar antara tahun 1450 sampai 1750. Masa moderen yang berikutnya
adalah mulai akhir abad 18 sampai sekarang).
Dari definisi yang ada, istilah moderen memang berangkat dari pembedaan
periode yang satu dengan periode yang lain setelahnya, tanpa dijelaskan itu
lebih baik dalam sisi material dan immaterialnya atau tidak, dan menurut hemat
penulis pendefinisian istilah tersebut adalah khas eropa.Kemudian istilah
moderen sendiri mengalami perluasan dan penyempitan makna seiring dengan
perkembangan zaman.
Dalam perluasan maknanya, moderen diartikan sebagai segala sesuatu yang
lebih baik, lebih baru dan lebih canggih. Namun sayangnya makna luas yang
demikian , kembali dipersempit dengan diartikan sebagai segala sesuatu yang
berbau barat, entah itu baik atau tidak (western oriented). Jika dianalisa,
penyempitan makna yang sedemikian rupa lebih disebabkan dominasi budaya barat
terhadap dunia timur, dan barang kali orang-orang timur tidak sadar kalo mereka
'terjajah' oleh budaya barat.
Dari sini, kiranya penulis merasa perlu untuk mengembalikan istilah moderen
ke definisi yang lebih luas, dengan melihat produk-produk teknologi masa kini.
Produk-produk teknologi yang ada pada zaman sekarang ini, memiliki sifat-sifat
sbb:
- Lebih baik; ini berarti bahwa produk sekarang lebih baik dari pada produk produk sebelunya.
- Lebih hemat energi dan lebih canggih.
- Mempunyai orientasi jangka panjang, ini berarti bahwa produk-produk sekarang mempunyai daya tahan lama dalam pemakaiannya.
- Menghargai waktu, yakni produk-produk sekarang bisa mempercepat proses kinerja dan aktifitas penggunanya.
- User friendly, yakni mudah digunakan.
- Multi guna, yakni bisa digunakan untuk beberapa fungsi.
- Mandiri, yakni dalam penggunaannya tanpa banyak bergantung pada piranti lain, seperti handphone yang digunakan tanpa bergantung pada kabel.
Dengan melihat sifat-sifat produk masa kini, maka penulis lebih setuju jika
moderen didefinisikan sebagai sesuatu yang baru, lebih baik, bermanfaat dan
selaras dengan hajat hidup manusia. Dari sini menurut hemat penulis, moderen
adalah merupakan nilai-nilai positif dari progresifitas yang ada.Setelah kita
tahu arti moderen yang sedemikian rupa, lalu peran apa yang bisa kita bawa
dalam modernitas itu sendiri?
Islam dan
Modernitas
Dari definisi penulis, bisa diketahui bahwa islam tidak pernah anti
terhadap modernitas. Segala sesuatu yang baru, lebih baik, bermanfaat dan
selaras dengan hajat hidup manusia adalah mencerminkan nilai-nilai positif dari
perkembangan dan kemajuan hidup yang dialami oleh manusia.
Dalam kaitannya dengan hal ini, nabi pernah bersabda "Sesungguhnya
dalam setiap awal seratus tahun, Allah mengutus orang-orang yang memperbaharui
semangat keagamaan umat Islam" (Hr. Abu dawud & Baihaqi).
Jika ditelaah lebih lanjut, hadis ini memberikan spirit kepada umat islam
agar supaya selalu memperbarui semangat keagamaan mereka seiring dengan
perkembangan zaman, sehingga dengan semangat baru itu mereka bisa semakin
memberikan kebaikan, kemanfaatan dan keselarasan hajat hidup manusia.
Kemudian, jika Islam telah mengajarkan hal-hal yang sedemikian rupa, lalu
bagaimana umat islam menindak lanjutinya ? ini semua merupakan tantangan bagi
para santri untuk bisa menindak lanjuti ajaran-ajaran tersebut. Oleh karena
itu, peran yang harus kita bawa dalam modrenitas adalah sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh sifat-sifat dari produk-produk masa kini.Yakni, umat Islam
terutama para santri harus memiliki sifat-sifat seperti yang penulis sebutkan
di atas.
Pertama: Santri harus bisa lebih baik dari orang lain (yang bukan santri).
Kedua: Santri harus bisa hemat dalam menggunakan fasilitas dan membelanjakan
harta, tidak memubazirkan dan membuang-buang fasilitas dan harta yang ada serta
lebih canggih pemikirannya.
Ketiga: Santri harus mempunyai pemikiran jangka panjang, membuang jauh-jauh
pemikiran jangka pendek.
Keempat: Santri harus bisa menghargai waktu, mampu menggunakannya dengan baik, dan
mengatur rutinitasnya untuk hal-hak yang positif.
Kelima: Santri harus mempunyai sifat toleran, fleksibel dan moderat.
Keenam: Santri harus kreatif, mampu menghadapi bermacam-ragam masyarakat di sekitarnya.
Ketujuh: Santri harus bisa mandiri, tidak selalu bergantung dan selalu menunggu
"jemputan bola" dari orang lain.
Dan jika santri telah memiliki sifat-sifat tersebut di atas, maka itulah
yang dinamakan santri moderen sejati yang bisa mewarnai zaman sekarang ini
dengan moderen yang sejati pula.
Epilog
Islam dengan syari'atnya adalah sebagai timbangan kokoh bagi tindak-tanduk
individu dan masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh individu dan masyarakat
dalam berinteraksi dengan kehidupannya haruslah sesuai dan mengikuti timbangan
tersebut. jika demikian, maka hasil dari interaksi tersebut akan mampu
mengakulturasikan nilai-nilai religi dengan nilai-nilai lain sehingga akan
mewujudkan progresifitas yang mengandung nilai-nilai positif. Dan semua itu akan
tercapai jika umat islam, terlebih para santri bisa mengaktualisasikan ajaran
agamanya dengan didampingi sifat-sifat moderen yang sejati.
Wallohu A'lam bis
showaab
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Terimakasih sudah berkunjung.