Di Indonesia
sedang terjadi pergulatan pemikiran mengenai kesetaraan dan keadilan gender
yang hendak diundang-undangkan oleh Komisi B DPR Pusat. Namun siapa sangka,
ternyata paham ini ternyata mengekor dari paham barat dengan ratifikasi[1]
dari Convention on the Elimnation of all forms of Discrimination Againts Women
(CEDAW), Beijing Platform for Action (BPFA), dan Millenoum Development Goals
(MDGs) sebagai landasan yuridisnya.
RUU KKG ini juga perlu dikritisi, karena faktanya hal tersebut memberikan stereotip negatif pada keluarga dengan menyebutnya sebagai “peran domestik”. Sebuah stereotip yang jelas menimbulkan pandangan negatif/misogyny (sebelah mata) terhadap keluarga yang merupakan lembaga ketahanan sosial paling utama dalam masyarakat. Ini juga merupakan stereotip negatif kepada kaum perempuan yang secara ikhlas mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk berbagi peran dengan suaminya dalam menjaga keutuhan keluarganya.
Jika ditelaah dengan seksama, di sinilah letak kerancuan dari konsep kesetaraan dan keadilan gender yang dijadikan standar pengukuran dalam HDI/GDI. Ukuran kesetaraan gender adalah seberapa besar jumlah kaum perempuan yang bisa melepaskan diri dari “peran domestik”-nya di keluarga, sementara peran mereka di keluarga sebagai pendidik utama anak-anak tidak dijadikan standar pengukuran. Apakah memang perempuan yang aktif di luar lingkungan keluarga harus selalu dipandang “lebih berhasil” dibanding perempuan yang memilih tetap menjadi pendidik di tengah-tengah keluarga?
Isu kesetaraan dan keadilan gender sebagai standar pembangunan sebenarnya dianggap isu usang oleh mayoritas wanita muslim di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Ini terungkap dari hasi survey yang dilakukan oleh Gallup World Poll terhadap 1,3 Miliar muslim di dunia. Jhon L. Esposito dan Dalia Mogahed sebagai koordinator survey menjelaskan, mayoritas wanita muslim menilai bahwa isu kesetaraan gender tidak lebih sebuah penjajahan kultural dari Barat terhadap dunia Islam, atau yang biasa disebut Westernisasi (pem-Barat-an), melaui media elektronik dan cetak seperti TV, internet, koran, majalah, film, sinetron, dan infotainment. Meskipun kaum wanita muslim di berbagai belahan dunia mengakui bahwa Negara mereka belum mengakomodir hak-hak mereka secara penuh, akan tetapi mayoritas dari mereka sepakat bahwa paham kesetaraan gender yang diusung Barat bukan merupakan solusi. Solusinya tetap hanya pada ajaran Islam itu sendiri. Lebih dari itu, mayoritas kaum wanita muslim menilai bahwa masalah gender bukanlah masalah yang utama. Yang paling penting dan utama bagi mereka adalah pembangunan di bidang politik dan ekonomi[4].
Secara khusus, umat Islam Indonesia sudah jauh merespon persoalan kaum perempuan ini melalui pembentukan bagian otonom perempuan di berbagai organisasi kemasyarakatan (Persatuan Islam: Persatuan Islam Istri, NU: Muslimat NU, Muhammadiyyah: Aisyiyyah, dan sebagainya). Ini menunjukkan kesadaran dari umat Islam Indonesia akan pemberdayaan kaum perempuan. Akan tetapi dari sejak sebelum negeri ini berdiri, sudah diyakini bahwa solusinya bukan kesetaraan gender (gender equality), melainkan ajaran Islam itu sendiri. Jadi sebenarnya “kesetaraan gender” ini keinginan siapa? Keinginan kaum perempuan Indonesia? Bukankah kaum perempuan Indonesia yang mayoritas muslim tidak pernah peduli dengan gagasan kesetaraan gender yang diimpor dari Barat?
Secara sosiologis, UU KKG ini juga bisa menimbulkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia yang notabene mayoritas di negeri ini. Sebab agama Islam, yang keberadaan dan pengamalannya dilindungi oleh konstitusi negeri ini, sudah mengatur persoalan gender ini dalam salah satu bagian ajarannya yang di antaranya banyak bertentangan dengan konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam RUU ini. Misalnya jelas, sudah menjadi ajaran Islam adanya pembedaan dalam masalah pakaian/aurat antara lelaki dan perempuan. Di samping itu, dalam masalah shalat berjama’ah, perempuan tidak boleh menjadi imam; dalam ibadah Jum’at, perempuan tidak boleh menjadi khatib Jum’at; wali dan saksi nikah hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki; anak perempuan haram menikah dengan pria non-muslim; bagian waris untuk lelaki berbeda dengan perempuan; kambing yang disembelih dalam aqiqah berbeda jumlahnya antara yang diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan; lelaki sebagai pemimpin bagi perempuan dalam kehidupan berkeluarga; dan lain sebagainya.
Sementara itu, dalam RUU KKG pasal yang mengatur Ketentuan Pidana tidak memberi kebebasan terhadap pemeluk agama Islam untuk menjalankan keyakinannya seperti di atas, yang dari sejak kelahiran Islam tidak pernah menimbulkan protes dari kaum perempuan karena merasa dimarginalkan. Dari semua pasalnya, tidak ada satu pun yang memberi pengecualian untuk satu ajaran agama tertentu. Mengingat bahwa sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang di antaranya membedakan dalam urusan gender tersebut sudah menjadi bagian hukum negara Indonesia, maka sudah pasti keberadaan UU KKG ini akan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat muslim.
Tentunya kita tidak mau bangsa ini ternodai setelah lamanya SEPILIS berkuasa di negeri mayoritas Islam ini. Memang undang-undang ini masih bersifat rancangan, namun perlu diwaspadai pula keberadaannya yang terlihat indah namun memiliki tujuan busuk seperti yang dijelaskan diatas. Perlunya sosialisasi dan pemahaman terhadap orang-orang yang belum mengetahui mengenai isu yang sedang gencar-gencarnya mereka godog, menuntut kita cepat tanggap dalam menghadapinya.
Semoga Allah melindungi kita dari pemikiran yang mampu menjatuhkan martabat ummat Muslim di Indonesia khususnya. Amien.
Untuk membantu mendukung gerakan penolakan UU KKG ini di Facebook, silahkan like fan pagenya dengan meng-klik disini.
Daftar bacaan:
http://www.lensaindonesia.com/2012/04/20/inspirasi-hari-kartini-forkada-tolak-ruu-kkg.html
http://pemikiranislam.net/2012/04/mengapa-harus-ada-uu-kkg/#_ftn23
[1] Adalah
proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi
atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap
konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya
[2] Ulasan panjang lebar
tentang sekularisme bida dirujuk buku penulis, Menangkal Virus
Islam Liberal, Bandung: Persispers, 2011, Cet. II, hlm. 36-52. Atau
merujuk buku yang ditulis oleh penganjur sekularisme di Indonesia, Budhy
Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme; Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.
[3] RUU KKG bab I pasal 1 ayat 1
[4] Jhon L. Esposito dan
Dalia Mogahed, Who Speaks for Islam?, terj. Eva Y. Nukman, Saatnya
Muslim Bicara!: Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan
Isu-isu Kontemporer Lainnya, Bandung: Mizan, 2008, hlm. 133-155.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Terimakasih sudah berkunjung.