Shahabat Jabir bin Abdillah
menceritakan, suatu saat Rasulullah saw berkhutbah di hadapan orang banyak.
Kedua matanya merah, suaranya keras, dan nadanya tinggi, menandakan beliau
sangat marah, seolah-olah seorang panglima perang yang akan memberangkatkan
pasukannya. Seraya bersabda,
اَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ
خَيْرَ اْلحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ اْلهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
“Amma Ba’du, Ingatlah sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
kitab Allah (Al-Quran), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Hadits),
dan sejelek-jeleknya urusan adalah perbuatan bid’ah, setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Muslim, kitab Jum’ah)
Pada kesempatan lain, Rosulullah saw
bersabda, “Aku wasiatkan kepada kamu agar bertaqwa kepada Allah, patuh dan
taat kepada pemimpin sekalipun itu seorang Habsyi, maka sesungguhnya siapa di
antaramu yang masih hidup setelah aku tiada, kemudian ia melihat banyak
perselisihan, maka hendaklah ia pegang teguh sunnahku dan sunnah para khalifah
yang mendapat petunjuk Genggamlah sunnahku, peganglah dengan kuat, jangan
dilepaskan”. Selanjutnya sabda beliau,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ (رواه
احمد)
“Hati-hatilah terhadap
perkara-perkara yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah
adalah sesat”. (HR
Ahmad)
Bid’ah menurut bahasa adalah, setiap
amal yang tidak ada contoh sebelumnya. Menurut Imam An-Nawawi, hukum bid’ah itu
ada lima sesuai dengan jumlah hukum syara’ yang lima; (1) Bid’ah wajibah,
contohnya menyusun kaidah-kaidah untuk melawan dan membantah alasan orang-orang
yang merusak Islam. (2) Bid’ah mandubah, misalnya menyusun kitab dan mendirikan
madrasah. (3) Bid’ah mubahah, seperti menciptakan macam-macam makanan. Adapun
no (4) dan (5) Bid’ah haram dan makruh, adalah bid’ah pada ‘aqidah dan ibadah.
Bid’ah dalam ‘aqidah itu disebut juga syirik, seperti tashawwur (menggambarkan
rupa) dan tafakkur (memikirkan keberadaan Allah) tentang Allah.
Sedangkan pada ibadah tetap disebut bid’ah.
Ulama ushul membagi dua bagian dari
perbuatan-perbuatan yang tidak terjadi di zaman Rosulullah Saw; maslahah
mursalah dan bid’ah. Maslahah Mursalah ialah kemaslahatan yang tidak
disyari’atkan dalam bentuk hukum, karena tidak terdapat dalil yang membenarkan
atau menyalahkan, tetapi perbuatan itu sangat diperlukan dalam rangka
menciptakan kemaslahatan.
Misalnya tindakan yang dilakukan
para shahabat pada zaman kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq tentang membukukan
al-Quran. Saat Umar bin Khaththab r.a. mengusulkan menjadikan al-Quran dalam
satu mushaf, Abu Bakar r.a. menolak usul tersebut dengan alas an tidak ada
perintah dari Rosulullah Saw, beliau takut berbuat bid’ah. Tetapi Umar tetap
pada pendiriannya, karena menurutnya itu bukan perbuatan bid’ah, mengingat
antara lain; (1) Ummat Islam akan
semakin banyak dan tidak hanya dipeluk orang-orang Arab. (2) Banyak sahabat
penghafal Quran yang gugur dalam
pertempuran Yamamah. (3) Para penghafal Quran semakin berkurang dan tidak
berbanding dengan jumlah kaum Muslimin. (4) Adanya isyarat dari Rosulullah Saw
bahwa beliau sudah menyuruh menulis Quran. Setelah melalui diskusi yang sengit,
pada akhirnya Abu Bakar r.a. setuju dan membentuk tasykil penulisan al-Quran
yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Contoh lain adalah pendirian rumah sakit,
panti asuhan, dan adzan menggunakan pengeras suara.
Pada zaman Rosulullah Saw sudah ada
upaya mengeraskan suara agar adzan terdengar ke masyarakat. Sebagaimana
dilakukan oleh Bilal, muadzin Rosulullah Saw yang meliku-likukan kepalanya ke
kanan dan ke kiri. Berbeda dengan bedug yang dipukul (dibunyikan) sebelum
adzan, sebab zaman Rosulullah Saw mungkin dapat dibuat dari kulit sapi atau
unta.
Sedangkan yang disebut bid’ah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam as-Syatibiy, “Ungkapan dari suatu cara
dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syariat. Dikerjakan amal itu
dengan maksud ingin mencapai maksimalitas (mencari nilai lebih) dalam beribadah
kepada Allah Swt”. Atau “Bid’ah itu adalah suatu urusan yang baru dalam agama;
berupa ‘aqidah, ibadah, atau cara ibadah yang tidak terjadi pada masa
Rosulullah Saw. Lebih jelasnya yang disebut bid’ah itu, membuat cara ibadah
yang baru dan menentukan waktunya.
Misalnya, pertama, talafudz bin
niyyat (melafadzkan niat) sebelum melakukan shalat. Perbuatan itu baru, artinya
tidak terjadi pada zaman Rosulullah Saw, para sahabatnya juga tidak oleh para
imam. Perbuatan tersebut menyerupai syariah, tidak dilafadzkan selain dengan
bahasa arab. Yang melafadzkan niat tersebut berkeyakinan hal itu termasuk ibadah
dan mengharapkan pahala.
Kedua, perayaan maulid, peringatan isra’ mi’raj,
peringatan nuzulul quran. Semua itu tidak dilakukan oleh Rosulullah Saw dan
para sahabatnya, juga oleh imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan Imam Hambali). Andaikan perbuatan-perbuatan itu baik, tentulah
mereka akan mendahului kita dalam pengamalannya. Perayaan dan upacara diatas
tidak termasuk maslahah mursalah. Itu termasuk bid’ah, sebab para pelakunya
menganggap perbuatan itu ibadah yang akan mendatangkan pahala.
Pernah
suatu saat khalifah Umar bin Khattab didatangi seorang Yahudi, katanya, “Ada
satu ayat dalam kitab kamu, andaikan ayat itu turun kepada bangsa kami, pasti
akan kami jadikan hari turunnya itu sebagai hari raya.” Kata Umar, “Ayat apa
itu?” (kemudian si Yahudi itu membacakan ayat ketiga surat Al-Maidah). Kata
Umar, “Aku tahu ayat itu, aku pun tahu kapan dan dimana ayat itu diturunkan,
yaitu hari Jum’at di ‘Arafah” (Al-Bukhari). Dari riwayat itu kita tahu bahwa
Umar r.a. tidak mau melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rosulullah Saw,
sekalipun usulan itu nampaknya baik dan ada manfaatnya, tetapi beliau mengerti
perbuatan itu bid’ah, dan menyesatkan dan dosanya lebih besar daripada
manfaatnya.
Kata Imam
Malik bin Anas, “Siapa yang berbuat bid’ah dalam Islam, ia memandang
perbuatan itu baik, sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad Saw telah
mengkhianati risalah, karena Allah sudah berfirman, ‘Hari ini telah
kusempurnakan agamamu...’, maka apa saja yang tidak menjadi agama pada hari
itu, niscaya tidak menjadi agama pada hari ini,” Sebab itu kita harus dapat
membedakan antara urusan ta’abbudiy dengan urusan keduaniaan.
Padahal
yang disebut ibadah itu pada asalnya terlarang, kecuali ada dalil yang
menunjukkan perintah atau ada contoh dari Rosulullah Saw. Jika tidak ada
perintah dari beliau, maka amal itu ditolak, tidak akan diberi pahala. Bahkan
pelakunya harus bertanggung jawab karena telah membuat syari’at yang baru.
‘Aisyah r.ah. berkata:
قال رسول الله ص م : مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. البخارى
Rosulullah
Saw bersabda, “Siapa yang mengada-ada dalam urusan kami (Islam) yang tidak ada
perintah dari kami, maka amal itu pasti ditolak.” (HR Bukhori)
Pada
kesempatan lain, Anas r.a. berkata:
قال رسول الله ص م : مَنْ غَشَّ اُمَّتىِ فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ قِيْلَ يَا رَسُوْلُ اللهِ
وَمَا الْغَشُّ؟ قَالَ اَنْ يَبْتَدِعَ بِدْعَةً فَيَعْمَلُ بِـهَا. رواه
الذّارقطتنى
Sabda
Rosulullah Saw, “Siapa yang menipu ummatku, niscaya ia akan dilaknat Allah,
para Malaikat, dan manusia seluruhnya” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud
menipu itu ya Rosulullah?” Jawab beliau, “Yang membuat suatu bid’ah dan
mengamalkannya”. (HR Adz-Dzaruqutniy)
Perbedaan
Maslahah Mursalah dengan Bid’ah
Maslahah
Mursalah
1. Tidak ada motivasi untuk melakukannya pada zaman Rosulullah Saw
2. Tidak menyerupai syariah
3. Dikerjakan untuk kemaslahatan ummat
4. Terdapat kendala untuk mewujudkannya, seperti sarana
5. Ma’qul (dapat diterima akal)
Bid’ah
1. Adanya motivasi untuk menambah pahala (tetapi para sahabat tidak
melakukannya)
2. Menyerupai syari’ah (ditentukan cara dan waktunya)
3. Dikerjakan untuk mencari keutamaan (mubalaghah) dalam ibadah
4. Tidak terdapat kendala untuk mewujudkannya, karena sarana
menunjang dan sangat memungkinkan
5. Ghayr ma’qul (irrasional)
Umar bin
Khaththab r.a. pernah melontarkan kalimat “ni’matul bid’atu haadzihi”
sebaik-baik bid’ah adalah ini, ketika beliau menganjurkan agar shalat tarawih
berjamaah dilakukan dengan seorang imam. Pada mulanya shalat tarawih yang
dilakukan para sahabat itu berkelompok dengan beberapa imam. Mereka datang ke
masjid pun tidak bersamaan. Bid’ah yang dimaksud beliau itu adalah cara yang
tidak dilakukan sebelumnya (bukan mengada-ngada dari sunnah)
Zaman
Rosulullah Saw pun pernah terjadi shalat qiyamu Ramadlan (tarawih) berjamaah di
masjid, beliau sendiri yang menjadi imam. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah
r.a. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari pada kitab Tarawih, “Pada tengah
malam di bulan Ramadlan, Rosulullah Saw keluar kemudian shalat di masjid, ada
beberapa orang yang berma’mum kepada beliau. Keesokan harinya orang-orang itu
bercerita kepada para sahabat yang lain. Malam kedua yang berma’mum itu
bertambah lagi, dan keesokan harinya mereka bercerita lagi, (maka tersiarlah
berita tentang shalat berjamaah dengan Rosulullah Saw) sehingga pada malam
ketiganya masjid Nabawi itu penuh sesak, dan Rosulullah Saw tetap keluar untuk
sholat. Malam keempatnya tambah banyak lagi tetapi beliau tidak keluar sehingga
keluar untuk sholat shubuh. Selesai shalat shubuh beliau berkhutbah, beliau menjelaskan
kekhawatirannya cara seperti itu akan memberatkan ummatnya.
Jadi,
bid’ah dalam perkataan Umar itu adalah menurut bahasa bukan menurut istilah
sebagaimana yang dikhawatirkan Rosulullah Saw “setiap bid’ah itu sesat”
(Wallahu a’lam)
Sumber Risalah
no.11 th.49 Februari 2012 hal 24 (Ust. Rahmat Nadjib)
Mustari. Keterangan yang sangat bagus dan jelas! Syukron dan izin share di pengajian. Nuwun, Syokron. Jazakumullah!
ReplyDeleteAlhamdulillah bila diterima... :)
DeleteSangat senang mendengarnya...