Ilustrasi |
Aku ingin memastikan tidak ikhwan lain yang ingin atau sedang ber-ta'aruf atau bahkan telah meng-khitbah-mu. Setelah meyakinkan diri, kutuliskan kata-kata ini, agar hatiku tak lagi terpenjara oleh kebodohan rasa ini.
Aku ingin bertanya lewat sahabat-sahabatmu, tetapi aku terlalu malu, jika mereka akan berkata bahwa engkau telah atau akan segera ber-ta'aruf dengan ikhwan lain atau sedang tidak bercita untuk segera menikah. Jika aku bertanya lewat sahabatku, aku tak siap jika harus mendengar penolakanmu dari lidah mereka, kuingin mendengarnya langsung dari hatimu, dalam perkenanmu. Jika aku harus mengatakan langsung padamu dengan lidahku, kutak sanggup merangkai kata yang baik dan indah.
Tulisan ini tak lain atas niat suci yang terlalu besar hingga aku tak mampu jika harus memikulnya terlalu lama, sendiri. Berawal dari niat suci, hingga tak ingin jika sampai dikotori oleh kesalahanku yang bodoh ini. Dan ingin kuakhiri dengan kesucian hati yang tak ternoda oleh rangkaian kata-kata usang ini.
Jika engkau berkenan, Insya Allah, Ya ukhti, aku ingin sekedar bisa menyampaikan niat tulusku untuk mengenalmu, mengenalmu, dan mengenalmu. Walau aku sungguh, jika melihat diri ini, merasa tak layak jika harus mengenalmu. Karena jika ikhwan yang baik memiliki 100 kriteria baik, aku hanya punya satu saja. Jika ikhwan yang baik punya 1000 kriteria baik, aku hanya punya satu saja. Insya Allah, aku hanya memiliki keinginan dan semangat untuk belajar. Karena untuk urusan ilmu, tiada kata cukup dan berpuas hati hingga ajal menjelang.
Namun, jika tiada perkenan darimu, kurela dan ikhlas, kurela dan ikhlas, kurela dan ikhlas, menerima sepenuh hati, Insya Allah.
Maaf tak terkira kusampaikan, atas kelancangan dan kebodohan yang tertulis dalam putihnya harapan ini. Rasulullah bersabda, "Diamnya seorang wanita adalah persetujuannya." Tetapi jika ada diammu atas tulisan ini, kuanggap sebagai tiadanya perkenanmu.
Maaf Kusampaikan, Syukran, Jazakillah Khairan Katsira...