Kebangkitan kedua sektor keuangan syariah setelah perbankan, dialami oleh asuransi. Itu terjadi pada tahun 1994, ketika untuk pertama kalinya didirikan perusahaan asuransi berlandaskan syariah di Indonesia, melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI). PT STI sendiri memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) dan PT Asuransi Takaful Umum (ATU).
Dibandingkan di sejumlah negara -bahkan negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim- keberadaan asuransi Takaful di Indonesia terbilang terlambat. Di Luxemburg, Geneva dan Bahamas misalnya, asuransi Takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, keberadaannya sudah jauh lebih lama seperti di Sudan (1979), Saudi Arabia (1979), Bahrain (1983), Malaysia (1984) dan Brunei Darussalam (1992).
Dibandingkan di sejumlah negara -bahkan negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim- keberadaan asuransi Takaful di Indonesia terbilang terlambat. Di Luxemburg, Geneva dan Bahamas misalnya, asuransi Takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, keberadaannya sudah jauh lebih lama seperti di Sudan (1979), Saudi Arabia (1979), Bahrain (1983), Malaysia (1984) dan Brunei Darussalam (1992).
Hingga saat ini, PT Syarikat Takaful Indonesia masih menjadi satu-satunya perusahaan asuransi berdasarkan syariah. Namun demikian, ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang mulai menjajaki peluncuran produk-produknya yang berlandaskan sistem syariah.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal. Pertama, keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
Kedua, prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Ketiga, dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Keempat, premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Kelima, untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keenam, keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK)
PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK), didirikan pada tahun 1994 dengan modal dasar Rp 25 miliar dan modal disetor Rp 9 miliar. Sebagai anak perusahaan PT Syarikat Takaful Indonesia (STI), sebagian besar saham PT ATK dimiliki oleh PT STI, selebihnya oleh Koperasi Karyawan Takaful.
Pada tiga tahun pertama beroperasi, yaitu 1994, 1995 dan 1996, PT ATK mengalami kerugian kumulatif sebesar Rp 1,383 miliar. Namun mulai tahun 1997, PT ATK mulai berhasil membukukan laba yaitu sebesar Rp 135 juta. Laba itu terus tumbuh pada tahun 1998 menjadi Rp 312 juta, namun menurun kembali pada 1999 menjadi Rp 221. Kondisi ini sebetulnya relatif baik, mengingat pada tahun-tahun itu ekonomi Indonesia tengah dilanda krisis. Bahkan, tak sedikit perusahaan asuransi konvensional yang kesulitan likuiditas dan akhirnya gulung tikar.
Sedangkan pendapatannya sejak pertama berdiri terus tumbuh. Pada tahun 1999, porsi pendapatan terbesar masih dari premi yaitu mencapai Rp 28,552 miliar. Pendapatan investasi mencapai Rp 1,707 miliar dan dari sektor lainnya Rp 99 juta.
PT ATK yang berkantor pusat di Jl. DR. Saharjo, Jakarta, hingga tahun 1999 berhasil merangkul 39.204 orang peserta individu di delapan produk individunya, yaitu Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, Takaful Dana Siswa, Takaful Anuitas, Takaful Anak Asuh, Takaful Kesehatan, Takaful Al-Khairat dan Takaful Kecelakaan Diri. Sementara 441.573 peserta kumpulan tersebar di tujuh produk kumpulannya, yaitu Takaful Pembiayaan, Takaful Al-Khairat, Takaful Majelis Taklim, Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan, Takaful Kecelakaan Siswa, Takaful Perjalanan Haji dan Umroh serta Takaful Wisata dan Perjalanan.
Jajaran dewan komisaris PT ATK, dipimpin oleh Iwa Sewaka selaku Direktur Utama PT STI. Sedangkan jajaran dewan pengawas syariah diketuai oleh KH Ali Yafie. Jajaran dewan direksi diisi oleh Agus Siswanto selaku direktur utama, Basuki Agus selaku direktur operasional, Edwin Mustafa selaku direktur keuangan dan Syahrial Sakni selaku direktur teknik dan aktuaria.
Mereka saat ini mengelola aset perusahaan senilai lebih dari Rp 55 miliar. Dalam menjalankan operasionalnya, PT ATK didukung oleh 947 orang sumberdaya manusia yang tersebar di 31 kantor cabang. Dengan segala potensinya, PT ATK menetapkan visi 2003, yaitu menjadi perusahaan asuransi yang tangguh, terkemuka, diperhitungkan dan dibanggakan oleh ummat Islam dan masyarakat Indonesia. Untuk itu, PT ATK menetapkan misi untuk tetap konsisten sebagai lembaga ekonomi-keuangan syariah dan memeberi manfaat sebesar-besarnya bagi para stakeholders.
PT Asuransi Takaful Umum
PT Asuransi Takaful Umum (ATU), didirikan pada 5 Mei 1994. Mayoritas (99 persen) saham PT ATU, dimiliki oleh PT Syarikat Takaful Indonesia selaku induk perusahaan. Selebihnya adalah milik Koperasi Karyawan Takaful.
Sebagai perusahaan asuransi berdasarkan sistem syariah, produk-produk asuransi PT ATU bebas dari tiga unsur yang diharamkan hukumnya dalam muamalat Islam, yaitu ketidakpastian (gharar), untung-untungan (maisir) dan bunga (riba).
Lebih dari itu, prinsip bagi hasil (mudharobah) yang mendasari operasi PT ATU memungkinkan para peserta yang tak pernah mengajukan klaim -atau bahkan yang membatalkan polis sekalipun- memperoleh keuntungan dari bagi hasil tersebut.
Perhitungan bagi hasil antara perusahaan dengan peserta, didasarkan pada mekanisme sebagai berikut: kumpulan dana dari peserta diinvestasikan dengan prinsip syariah. Hasil investasi, dibagikan kepada perusahaan dan peserta berdasarkan suatu nisbah tertentu, setelah dikurangi pembayaran berbagai beban biaya (klaim dan premi reasuransi).
Berbeda dengan produk-produk PT ATK, produk asuransi PT ATU lebih banyak berorientasi pada pengasuransian barang. Produk-produk tersebut yaitu Takaful Kebakaran, Takaful Kendaraan Bermotor, Takaful Rekayasa, Takaful Pengangkutan, Takaful Rangka Kapal, Takaful Aneka.
Dari kantor pusatnya di Arthaloka Building, Jl. Jendral Sudirman Jakarta, PT ATU mengembangkan usahanya melalui enam kantor cabang, masing-masing di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Balikpapan.
Saat ini, sejumlah korporat terkemuka telah tercatat sebagai nasabah PT ATU seperti PT Krakatau Steel, PT Pupuk Kujang, PT Telkom, PT Perusahaan Listrik Negara serta sejumlah perusahaan swasta seperti PT Bank Muamalat Indonesia, PT ARCO Indonesia, PT Elnusa, dan sebagainya.
Jajaran dewan pengawas syariah PT ATU diketuai oleh KH. Ali Yafie. Sedangkan jajaran dewan komisaris dipimpin oleh Iwa Sewaka selaku Dirut PT Syarikat Takaful Indonesia. Sedangkan di jajaran Direksi terdapat nama-nama seperti Shakti Agustono Rahardjo sebagai dirut, Muhammad Syakir Sula sebagai direktur operasi dan Nurmansjha Lubis sebagai direktur keuangan