oleh: Tiar Anwar Bachtiar dan Yudi Rachman
Ternyata Indonesia telah menjadi sasaran empuk dan lahan subur bagi bagi tumbuh berkembangnya aliran-aliran yang menyatakan dirinya bagian dari Islam, namun tidak menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai rujukan ajarannya. Setelah sebelumnya kita disibukkan dengan berkembangnya aliran Ahmadiyah, Islam Liberal, dan yang lainnya, sekarang kita dibuat terkesima dengan 'keberanian' tampil kelompok ahlul bait. Nama samaran untuk kelompok yang berpaham Syiah.
Seperti pada bulan lalu (2-4 April 2010), tanpa adanya publikasi yang meriah, mereka mengadakan acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Ahlul Bait di Asrama Haji Pondok Gede. Untungnya, kegiatan ini sempat terendus oleh kelompok Islam. Sehingga sebelum acara dimulai sempat terjadi perbincangan alot tentang legal dan illegal acara tersebut, karena berdasarkan informasi yang didapat dari mabes polri, mereka belum mendapatkan izin. Pihak pengelola gedung pun tidak mendapatkan kabar tentang adanya acara tersebut. Namun anehnya, walaupun diawali dengan sedikit perdebatan, acara tersebut tetap berjalan sampai akhir. Pendekatan apa yang telah mereka lakukan, sehingga mabes polri luluh juga dan memberikan izin kepada mereka. Apabila menggunakan cara manipulasi, lobby, berdusta dan kamuflase-kamuflase lainnya, sudah biasa mereka lakukan itu. Bahkan segala cara bisa mereka tempuh untuk meraih maksud yang diinginkan.
Ada tiga hal yang perlu dicatat dari kegagalan meyakinkan Mabes Polri bahwa Syiah ini aliran yang berbahaya. Pertama, banyak dari kalangan umat Islam, terutama yang terlibat dalam birokrat pemerintahan tidak mengetahui lebih dalam bahaya Syiah. Bahkan banyak yang beranggapan Syiah itu seperti halnya perbedaan antara NU dangan Muhammadiyah. Beda paham saja. Kedua, membuktikan bahwa Syiah sudah mulai menguat di Indonesia. Karena jika secara kuantitas mereka masih sedikit, mereka tidak mungkin berani tampil di muka umum. Ketiga, proses kaderisasi yang mereka lakukan sudah cukup berhasil dan kader-kader mereka sudah tersebar di birokrat pemerintah. Bagaimana sesungguhnya konstelasi Syiah di Indonesia sekarang. Inilah yang akan kita ulas saat dalam tulisan ini. Namun sebelumnya, ada baiknya diperkenalkan terlebih dahulu sosok Syiah dan perbedaannya secara mendasar dengan Islam.
Syiah dan Islam
Belakangan banyak cendekiawan Muslim di Indonesia yang mencoba untuk melakukan taqrîb (rekonsiliasi) Sunnah dan Syiah agar bisa hidup berdampingan. Salah satunya Quraish Shihab. Rekonsiliasi ini dilakukannya secara fundamental, yaitu melalui rekonsiliasi pemikiran. Idenya ini diwujudkan sejak ia menulis Tafsir Al-Misbah. Dalam Tafsir-nya, ia mengutip sekaligus tafsir-tafsir Syiah dan tafsir-tafsir Sunni kontemporer: Husein Thabaththaba'i (Tafsîr Al-Mizan-Syiah), Thahir ibn Asyur (Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr-Sunni), dan ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin Sayyid Quthb (Tafsîr fî Zhilâl Al-Quran). Selain Thabaththaba'i, Quraish pun sering mengutip pendapat ulama Syiah Murtadha Muthahhari.
Secara eksplisit, ide ini dijelaskan landasan argumentasinya dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandeng Tangan! Mungkinkah?. Sekuat tenaga, Quraish ingin mengatakan bahwa doktrin-doktrin Syi'ah yang sering dipermasalahkan seperti dalam hal rukun iman, rukun Islam, imamah, taqiyyah, bada', raj'ah, dan sebagainya hanyalah masalah khilafiyah. Sama seperti masalah-masalah khilafiyah yang sering diributkan NU dan Muhammadiyah. Jadi, perbedaan Sunni-Syiah bersifat furû'iyyah.
Pemikiran seperti ini rupanya bukan hanya dianut Quraish Shihab. Tokoh sekaliber Yusuf Qardhawi pun berpandangan sama. Bahkan, beliau sampai mendirikan Majelis Ulama Islam Internasional yang diketuainya. Ia mengangkat wakilnya dari kalangan Syiah untuk mewujudkan misinya melakukan taqrîb antara Sunni dan Syiah. Namun rupanya, usaha Qardhawi sia-sia. Lembaga yang didirikannya sejak awal sudah mendapat kecaman, namun tidak digubris hingga Qardhawi marasakan sendiri akibat dari pilihannya. Ia dikhianati oleh kelompok Syiah yang sengaja ia rekrut. Namanya bahkan banyak dicatut untuk keuntungan Syiah. Proyek taqrîb-nya pun gagal total.
Memang sampai hari ini, kalau bukan dalam hal-hal yang sifatnya mu'amalah biasa, belum pernah terjadi rekonsiliasi Sunni-Syiah. Sebab, kalau ditelusuri secara jujur dan mendasar, sejak dari doktrin dasar akidah (kepercayaan) Sunnah dan Syiah tidak pernah ketemu. Perbedaannya sangat jelas bukan sekadar perbedaan furû'iyyah belaka, melainkan sudah perbedaan ushûliyyah. Memang ada satu alirah Syiah, yaitu Zaidiyyah yang secara ushûli dekat dengan Sunni. Namun, jumlah pengikutnya sudah tidak signifikan. Hanya kelompok minoritas kecil di Yaman. Secara umum Syiah yang ada saat ini adalah Syiah Imamiyah-Itsna Asyariyah-Ja'fariyah yang secara akidah banyak pertentangannya dengan Sunni (baca: Islam).
Bila dijelaskan tentu saja akan sangat panjang. Namun secara ringkas perbedaan Sunni-Syiah dapatdilihat dalam bagan berikut.
No.
|
Perihal
|
Ahlus-Sunnah
|
Syiah
|
1
|
Rukun Islam
|
|
•5.
Wilâyah
|
2
|
Rukun
Iman
|
|
|
3
|
Syahadat
|
Dua
Kalimat
|
Tiga
Kalimat (ditambah menyebut 12 Imam)
|
4
|
Imam
|
Percaya
kepada imam bukan rukun iman.
|
Percaya
pada imam merupakan rukun iman.
|
5
|
Khilafah
|
Khulafa'ur-Rasyidin
adalah khilafah yang sah.
|
Selain
Ali r.a. kekhalifahannya tidak sah.
|
6
|
Ma'shûm
|
Khalifah
(imam) tidak ma'shûm
|
Para
imam yang 12 ma'shûm
|
7
|
Sahabat
|
Dilarang
mencaci semua sahabat
|
Mencaci
banyak sahabat dan menganggap banyak sahabat yang murtad
|
8
|
Istri
Rasul
|
|
|
9
|
Al-Quran
|
Tetap
orisinil
|
Sudah
diubah oleh para sahabat
|
10
|
Hadis
|
Menggunakan
kutubus-sittah dan kitab hadis mu'tabar yang lain.
|
Hanya
mau menggunakan hadis versi Syiah dalam 4 kitab pokok mereka: Al-Kâfi,
Al-Istibshâr, Man Lâ Yadûruhu Al-Faqîh, dan Al-Tahdzîb.
|
11
|
Surga
dan Neraka
|
Surga
untuk mereka yang taat pada Rasul dan neraka buat mereka yang ingkar.
|
Surga
untuk mereka yang cinta pada Imam Ali dan neraka untuk yang memusuhinya.
|
12
|
Raj'ah (inkarnasi)
|
Tidak
ada akidah raj'ah
|
Meyakini
adanya raj'ah
|
13
|
Imam
Mahdi
|
Imam
Mahdi adalah sosok yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
|
Imam
Mahdi kelak akan membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Fatimah, dan Ahlul-Bait
yang lain. Selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, dan Aisyah untuk
kemudian ketiga orang ini disiksa.
|
14
|
Nikah
Mut'ah
|
Haram
|
Halal
dan dianjurkan
|
15
|
Khamr
|
Tidak
suci/najis
|
Suci
|
16
|
Shalat
|
|
|
Sumber: Buku Mungkinkah Sunnah-Syiah
dalam Ukhuwwah
Perbadaan yang paling prinsip
terdapat pada bagian 1-14. Perbedaan pada bagian selanjutnya hanyalah contoh
perbedaan dalam hal amaliah ibadah yang jumlahnya tentu akan lebih banyak lagi
dari contoh di atas. Kalau melihat hal ini, jelas Syiah dan Sunni sangat sulit
untuk dicari titik temunya secara ajaran karena memang sudah sejak masalah
akidah berseberangan. Itulah jati diri Syiah yang sesungguhnya. Oleh sebab itu,
tidak mengherankan banyak ulama yang menganggap Syiah, terutama sekte
Imamiyah-Itsna Asyariah yang sekarang dianut mayoritas Syiah di dunia seperti
di Iran sebagai bukan Islam.
Salah satu amalan khas Syiah yang
juga banyak dipraktikkan di Indonesia adalah perayaan 10 Muharram (Hari
Asyura). Kami sempat mewawancarai seorang mantan mahasiswa yang pernah studi di
Pakistan. Tanpa sengaja, si mahasiswa ini mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti acara 10 Muharram di Pakistan. Sebuah acara ritual sakral bagi
kalangan Syiah. Tanpa mengalami kesulitan si mahasiswa ini bisa memasuki sebuah
ruangan yang akan menjadi ritualitas itu berlangsung. Ratusan orang sudah
berkumpul di tempat tersebut, dari anak-anak sampai dewasa. Laki-laki dan
perempuan. Apa yang dilihat si mahasiswa berikutnya akan menjadi pengalaman
berharga yang tidak mungkin terlupakan. Karena si mahasiswa ini menyaksikan
beberapa ritual yang menurutnya sudah sangat tidak masuk akal.
Salat satu hal ekstrem yang terlihat
adalah pemujaan kepada seekor kuda yang diyakini sebgai kuda yang pernah ditunggangi
Imam Husein bin Abi Tholib. Padahal, jelas-jelas kuda tersebut adalah kuda
biasa yang dihias dengan beberapa atribut saja. Meskipun mereka mengetahui
bahwa kuda tersebut adalah kuda biasa, bukan kuda yang sebenarnya ditumpangi
Imam Husein, namun mereka tetap khusyu' dan sungguh-sungguh melakukan ritual.
Selain kepada kuda, mereka melakukan
hal yang sama pula kepada replika makam Imam Husein. Replika makam yang terbuat
dari bahan-bahan sederhana ini digotong-gotong, kemudian orang-orang berebutan sambil
berdesak-desakan agar bisa mengusap-usap bagian makam. Nah, pada puncak
acara dilakukan ritual penyiksaan diri. Ini semakin membuat si mahasiswa
geleng-geleng kepala. Dengan keyakinan ingin mendapatkan pahala dari merasakan
penderitaan yang pernah dialami Imam Husein di Karbala mereka dengan sukarela
menyakiti tubuh mereka dengan berbegai senjata tajam. Darah atau luka pada
tubuh diyakini akan menjadi kebaikan buat mereka. Tidak hanya orang dewasa yang
melakukan itu, remaja bahkan anak-anak juga ikut serta.
Dari pagi sampai menjelang malam
acara itu berlangsung. Tidak ada semenit pun jeda untuk istirahat atau sholat.
Tiga waktu sholat yang dipahami mereka pun dilewati. Karena ritual setiap 10
Muharram, mereka anggap jauh lebih penting dibandingkan melaksanakan sholat.
Ternyata, menurut si mahasiswa yang sekarang menjadi dosen salah satu PTAI di
Jakara ini dan mayoritas keluarganya Syiah, dalam keseharian mereka juga tidak
mempedulikan sholat. Bagi mereka, katanya, yang penting berdzikir, dengan dzikir
yang dipahami mereka tentunya.
Masih menurut si mahasiswa, untuk
membedakan Syiah dan bukan bisa diperhatikan saat sholat. Orang Syiah ketika
sholat mereka akan membawa alas sujud, yang disebut dengan batu karbala. Batu
ini memang betul-betul dari Karbala. Karena menurut mereka apabila bersujud di
atas karpet atau alas lain, sholatnya batal alias tidak sah. Makanya jika
mereka tidak membawa atau tertinggal, mereka selalu mempersiapkan secarik
kertas untuk menggantikan fungsi batu karbala. Jika pemahaman seperti itu,
berarti sholat yang kita kerjakan, termasuk umat Islam yang sholat di masjidil
haram, semuanta batal.
Demikianlah kesesatan yang dilakukan
kaum Syiah. Apakah perbedaan-perbedaan tersebut dapat disatukan? Dari beberapa
pengalaman yang coba diusahakan ulama-ulama besar, sepertinya persatuan itu
sangat sulit terjadi, bahkan nyaris mustahil.
Syiah di
Indonesia
Sejarawan Yousuf Syou'b mensinyalir
bahwa Syiah sudah datang ke Indonesia sejak masa awal kedatangan Islam. Namun
perkembangannya tidak terlalu pesat dan tidak diterima baik oleh penduduk di
negeri ini. Oleh sebab itu, sampai akhir abad ke-20 Syiah tidak dikenal dan
tidak terlacak peran sejarahnya yang signifikan di negeri ini, sekalipun bukan
berarti tidak ada penganut sama sekali.
Mulai diterimanya Syiah di Indonesia
umumnya dapat dilacak sejak terjadi Revolusi Syiah Iran tahun 1979. Revolusi
Iran menginspirasi umat Islam bahwa mereka dapat bangkit dari keterpurukannya
di hadapan negara-negara Barat. Revolusi Iran memberikan semangat baru kebangkitan
umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia.
Semangat Revolusi Iran inilah yang kemudian membuat beberapa inetelektual muda Indonesia tertarik mempelajari
buku-buku dan tulisan ekponen Revolusi Iran seperti Khumaini dan Ali Syari'ati.
Tidak cukup hanya membaca dalam bahasa aslinya, beberapa di antaranya mulai
tertarik untuk menerjemahkan dan menerbitkannya dalam bahasa Indonesia.
Ternyata respon dari masyarakat pun umumnya cukup baik, terutama terhadap
pikiran-pikiran revolusioner yang memprovokasi kesadaran untuk memberontak pada
tatanan yang mapan.
Situasi ini cukup dimaklumi
mengingat tahun 80-an adalah tahun Suharto sedang bertindak sangat represif
terhadap umat Islam. Peristiwa-peristiwa penting seperti UU Subversi, Asas
Tunggal, Peristiwa Tanjung Priuk, dan tindakan represif lainnya terjadi
sepajang tahun 1980-an. Sitausi inilah yang membuat anak-anak muda Muslim
merasa mendapatkan dorongan semangat dan amunisi untuk melakukan perlawanan
terhadap tirani setelah membaca buku-buku revolusioner semacam tulisan Ali
Syari'ati.
Saat itu barangkali umat Islam
Indonesia yang tentu saja umumnya menganut paham Ahlus-Sunnah tidak terlalu
mempedulikan apakah yang dibacanya ini Syiah atau apa. Lagi pula isi dari
tulisan-tulisan Ali Syari'ati yang dipublikasikan bukan berkaitan dengn
ajaran-ajaran Syiah. Oleh sebab itu, kaum Muslim Indonesia saat itu tidak
terlalu mempersoalkan kepercayaan yang dianut penulis-penulis revolusioner
seperti Syari'ati.
Hanya saja, situasi ini ternyata
tidak disia-siakan oleh orang-orang Syiah. Segera saja, melalui pintu ini
mereka mulai memasukkan ide-ide Syiah secara utuh di kalangan anak-anak muda
Muslim. Mula-mula tentu saja tidak vulgar mendagangkan Syiah. Mereka sadar
betul bahwa mereka harus melakukan strategi yang halus memasukkan paham mereka
ke negeri ini. Mereka bungkus ajaran-ajaran mereka dengan hal-hal yang tidak
kontroversial, namun mengena.
Pada umumnya modus yang dilakukan
adalah dengan mendirikan yayasan-yayasan sosial. Mereka bantu orang-orang
miskin dan dhu'afa untuk mengambil hati mereka. Mereka bungkus semua
kegiatannya dengan bahasa "pembelaan terhadap kaum tertindas".
Cara-cara ini mirip seperti yang dilakukan kalangan missionaris.
Kalangan miskin bukan sasaran utama
yang mereka bidik. Justru yang menjadi sasaran utama adalah kaum inetelektual.
Kalangan inilah yang sejak awal justru dapat menerima syiah melalui
pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh recolusionernya seperti Ali Syari'ati. Melalui
buku-buku inilah, Syiah dapat menarik mahasiswa-mahasiswa cerdas untuk ikut
menjadi bagian dari barisannya. Pendekatannya melalui kajian-kajian pemikiran
dan filsafat yang banyak diminati mahasiswa. Kalaupun mereka tidak benar-benar
menjadi Syiah, pendekatan ini efektif untuk mempengaruhi banyak intelektual
Sunni agar menganggap Syiah ini bukan masalah bagi mereka. Dengan cara itu,
mereka yang ber-Syiah secara 'kâffah' tidak mendapat tentangan yang
berarti. Melalui inetelektual-intelektual Muslim yang terpengaruh pemimikan
Syiah inilah, kelompok Siah Imamiyah ini dapat meyakinkan kelompok mayoritas
Sunni di Indonesia agar dapat menerima ajaran dan keberadaan mereka.
Diakui atau tidak, mereka cukup
cerdas dalam menggunakan strategi, kalau tidak dikatakan licik. Karena banyak
di kalangan umat Islam termasuk yang sudah terdidik, bahkan ulama yang terjebak
pada permainan atau kamuflase wacana yang mereka gulirkan. Sehingga mereka
berhasil mengarahkan umat Islam untuk berkesimpulan bahwa Syiah itu bagian dari
Islam, Syiah itu tidak berbahaya, bahkan tidak sedikit ulama yang berpandangan
bahwa Syiah yang ada di Indonesia itu Syiah intelektual atau tasawuf, bukan
ideologis seperti yang ada di beberapa negara Timur Tengah. Padahal, apapun
kata sifat yang disematkan pada mereka apakah Syiah Ideologis, Syiah Gerakan,
Syiah intelektual, dan Syiah-syiah lainnya, semuanya sama. Mereka sesat. Karena
macam-macam Syiah itu merujuk kepada rujukan yang satu.
Saat ini, setelah lebih dari tiga
dekade berjuang menyebarluaskan Syiah di Indonesia, hasilnya sudah bisa mereka
nikmati sekarang. Lebih dari 200 lembaga dan yayasan Syiah berdiri di berbagai
kota (sebagiannya lihat Box). Mereka sudah mulai leluasa menyebarkan
kepercayaannya secara terang-terangan. Tokoh sekaliber Quraish Shihab dan
Haidar Bagir pun selalu melindungi kepentingan mereka sekalipun keduanya bukan
jamaah Syiah kâffah.
Organisasi Islam seperti
Muhammadiyah dan NU tidak luput pula dari bidikan mereka untuk mengamankan
kepentingan mereka. Sekalipun sudah menjadi tradisi bagi NU yang
mendeklarasikan diri sebagai pembela akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah meng-counter
berbagai pemikiran Syiah, namun Gus Dur dan Said Agil Siraj yang kini
menjabat ketua umum PBNU tampaknya sangat wellcome terhadap keberadaan
Syiah di Indonesia. Keduanya bahkan sangat sering diundang mengisi acara-acara
diskusi mereka.
Di Muhammadiyah kelompok Syiah ini
mulai berhasil menyusup melalui pendirian Iranian Corner di beberapa
universitas besar milik Muhammadiyah seperti UMJ, UMY, UAD, dan UMM. Memang
kelihatannya lembaga seperti Iranian Corner ini hanya sebatas lembaga penelitian
biasa. Namun justru melalui pintu inilah kader-kader Syiah banyak yang
disusupkan ke dalam tubuh Persyarikatan. Gejalanya sudah semakin nyata.
Banyak generasi muda Muhammadiyah yang mulai terpengaruh ajaran Syiah.
Di pemerintahan pun sudah mulai
banyak kader-kader Syiah yang menduduki posisi-posisi penting. Keberhasilan
mereka mengamankan Silatnas Ahlul Bait Indonesia V di Pondok Gede kemarin
adalah bukti bahwa jaringan mereka di jajaran kekuasaan cukup solid. Salah
satunya terlihat Sayuti Asatri yang menjadi moderator diskusi pada acara
Silatnas kemarin. Ia adalah politisi senior di Partai Amanat Nasional yang
didirikan mantan ketua umum PP Muhammadiyah Amin Rais. Posisinya sebagai
anggota DPR-RI tentu sangat strategis untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan
di negeri ini.
Alhasil, kelihatannya gerakan Syiah
di Indonesia saat ini sudah tidak bisa dianggap kecil lagi. Kalau ini tidak
pernah diketahui publik, suatu saat Syiah di Indonesia tidak mustahil akan
menjadi besar. Kalau ini sudah terjadi, seperti pengalaman di berbagai negeri
Muslim lain yang mengakomodasi keberadaan Syiah, tidak mustahil pula akan
terjadi konflik-konflik yang sampai berujung pada kekerasan. Hal semacam ini
tidak bisa dihindarkan mengingat dasar ajaran mereka memang menyimpan
permusuhan dan kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus-Sunnah. Bahkan
kebencian kepada Ahlus-Sunnah ini lebih besar dibandingkan kebencian kepada
Yahudi dan Nashrani. Masihkan kita akan berdiam diri?
Diambil dari situs resmi Persatuan Islam
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Terimakasih sudah berkunjung.